Friday, April 14, 2006

Inikah Saatnya?

Playboy Indonesia akhirnya terbit! Tidak perduli berbagai macam komentar, saran, bahkan ancaman yang datang, Playboy tetap maju melenggang dengan dalih kebebasan dan demokrasi. Dengan berbagai kontroversi yang meliputinya tak pelak lagi Playboy justru mendulang sukses penjualan pada edisi perdananya. Tak kurang dari 100.000 ekslempar yang dilemparkan ke pasaran, habis dalam satu hari. Bahkan kabarnya majalah yang dibandrol dengan harga 39.000 rupiah itu bisa terjual menjadi 150.000 rupiah. Lihatlah bagaimana kita dengan semangat membara dan menggebu-gebu menolak RUU Pornografi dan dengan semangat yang sama memburu edisi perdana majalah Playboy. Tidakkah kita sadar betapa menyedihkannya bangsa ini...

Persoalan jelas tidak berhenti sampai disini. Kecaman datang mengalir. Mulai dari ibu rumahtangga, da’i kondang bahkan ketua MUI berkomentar tajam. Tapi dewan redaksi tak bergeming. Dengan wajah optimis sang Pemred tetap bersikukuh bahwa Playboy Indonesia berbeda dengan Playboy Amerika. Sampai kemudian komunitas FPI bereaksi keras. Setelah melaporkan 9 orang yang dianggap berperan besar dalam penerbitan perdana -- termasuk 2 model, model cover dan playmate model—ke pihak yang berwajib plus menggugat perusahaan-perusaahaan pemasang iklan, FPI melancarkan demo ke kantor redaksi Majalah Playboy. Demo ini kemudian berujung ricuh, terjadi pengrusakan gedung dan 2 polisi terluka. Disayangkan memang. Tapi percaya atau tidak, peristiwa yang diltayangkan semua stasiun televisi ini ternyata mampu menghilangkan senyum si Pemred. Tak terlihat lagi optimisme yang tadinya begitu terpancar di wajahnya. Harus diakui bahwa ternyata cara kekerasan lebih berdampak. Benar, sebaiknya kita menghindari kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Kekerasan ibarat menyelesaikan masalah dengan menambah masalah. Tapi dalam kasus ini, sudah sangat banyak kata-kata yang telah dikeluarkan. Sudah sangat sering himbauan, dan saran bersahabat dilontarkan. Toh, semua ibarat angin lalu…

Sayangnya media sebagai sumber berita masyarakat kelihatan berbeda pendapat. Dalam tayangan berita sore tadi sebuah stasiun televisi dalam news textnya menulis, ‘mana yang lebih baik pornografi atau kekerasan’. Sebuah pertanyaan retorik yang bodoh menurut saya. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban tapi mampu menggiring opini public. Publik atau masyarakat tidak diajak dengan jernih melihat duduk persoalan, tidak diberi peluang untuk berpikir kenapa dan bagaimana sebuah peristiwa itu terjadi. Dengan mengikuti seluruh rangkaian berita yang dibacakan, persolan kemudian justru menjadi kabur. Bahkan kita pun akan menjadi bertanya-tanya, siapa mendhalimi siapa?

Stasiun televisi itu bukan satu-satunya, siang sebelumnya saya sempat menyaksikan 15 menit terakhir sebuah acara infotainment dari stasiun yang berbeda. Topiknya masih seputar majalah Playboy, pornografi dan pro kontra pendapat yang mengikutinya. Diakhir acara sang Host dengan suara mantap dan ekspresi berwibawa berkata (kira-kira begini..), ”apakah perlu segala pembatasan dengan dalih penjagaan moral? Tidakkah yang ditutupi itu justru mengundang keingin tahuan dan yang dilarang justru menimbulkan keinginan untuk mencoba?” Lagi-lagi sebuah komentar dangkal yang ( lagi-lagi) mampu membentuk opini publik.

Suka tidak suka begitulah power dari sebuah media. Harus disadari bahwa media bukan hanya sekedar penyampai berita atau informasi namun ia juga mampu membentuk sebuah opini public. Mengubah suka menjadi tidak suka , setuju menjadi tidak setuju. Hal menjadi sangat riskan ketika di alami oleh masyarakat kita yang latar belakang pendidikan dan ekonominya tidak setara. Ketika sebuah berita disampaikan secara tidak seimbang kepada masyarakat yang sumber informasinya terbatas, maka tidak ada pilihan bagi masyarakat tersebut untuk mampu menganalisa secara jernih dan adil. Headline, isi, komentar bahkan gesture dari host atau anchor sudah merupakan pesan tersendiri yang akan membentuk opini dari pemirsanya.

Itulah kenapa saya berpikir, inilah saatnya. Inilah saatnya bagi umat muslim Indonesia memiliki sebuah stasiun televisi. Setidaknya sebuah stasiun televisi berita nasional. Stasiun televisi yang mampu menyajikan informasi dari sisi yang berbeda. Menyeimbangkan informasi yang beredar.Sehingga masyarakat mampu menganalisa secara jernih dan adil segala informasi dan peristiwa. Selain itu ada banyak pembelajaran yang bisa diberikan oleh sebuah stasiun televisi Islam kepada masyarakat. Seperti yang saya tulis diatas, gesture dari host sudah merupakan pesan tersendiri. Alangkah sejuknya mendengar salam dari anchor yang berjilbab rapi. Anggapan bahwa perempuan berjilbab tak akan bisa menjadi anchor pun akan pupus. Begitulah, saya berangan-angan sore ini. Angan-angan yang saya tahu persis tidaklah mudah untuk direalisasikan. Tapi saya juga sadar, untuk sebuah kebaikan kita tak boleh berhenti berharap dan berusaha. InsyaAllah.

1 comment:

azfaAZ said...

belum ada yang baru lagi..:))